Saturday, March 15, 2008

Setelah disetujuinya pembuangan lumpur panas Lapindo Brantas ke laut

Saya rasa semua teman sudah mengetahui mengenai persetujuan dari presiden untuk pembuangan material lumpur panas dari Lapindo Brantas ke laut secara langsung tanpa diolah. Lumpur panas jutaan ton akan dibuang melalui Kali Mati dan Kali Porong, kemudian digelontorkan ke Kali Brantas (Detikcom, 27 Sept 2006)

Model (http://rovicky.wordpress.com/2006/09/27/animasi-kalau-lumpur-dibuang-ke-laut/) telah dibuat untuk menjelaskan mengenai pola kemungkinan persebaran lumpur panas ini jika dibuang ke laut dalam hitungan 15hari. Secara garis besar, akan terlihat tidak ada perubahan yang cukup signifikan terhadap ekosistem pesisir laut dalam hitungan hari tersebut, mengingat suspended load di selat madura selama ini memang sudah banyak.

FYI sepanjang kawasan pesisir daerah tapal kuda (Gresik, Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo hingga Situbondo dan Madura) terdapat ekosistem terumbu karang (+/- 30.178,93 Ha), lamun dan mangrove yang menjadi habitat ribuan spesies biota laut. Data JKRI tahun 2001 dan 2002 di Batu Lawang, Bilik, Lempuyang, Bama, Kajang di Kabupaten Situbondo menyebutkan kemunculan Hard Coral Life berkisar 9% hingga 80% dan rerata senilai 34%.

Ada pertanyaan yang perlu dicermati bersama setelah pembuangan material lumpur panas ini ke laut, yaitu mengenai kemungkinan dampaknya terhadap ekosistem pesisir dan laut dalam jangka panjang. Bagaimana kondisi ekosistem pesisir kawasan tapal kuda dalam jangka panjang?


Diambil dari posting di mailing list reefcheckind@yahoogroups.com pada Wed Sep 27, 2006 5:11 pm

Satu Dekade Pemantauan Reef Check di Indonesia


Pertanyaan mengenai bagaimana kondisi terumbu karang di Indonesia selama beberapa tahun belakangan dijawab oleh laporan “Satu Dekade Pemantauan Reef Check: Kondisi dan Kecenderungan pada Terumbu Karang di Indonesia”. Secara umum, kondisi terumbu karang Indonesia berada dalam kategori Sedang (26-50%) dengan persen kemunculan yang cenderung menurun. Untuk ikan, telah terjadi tangkap lebih pada ikan ekonomis dan ikan karang konsumsi yang diindikasikan dengan menurunnya jumlah Kerapu Tikus, Napoleon, Kerapu, Haemulidae, Parrotfish dan Bumphead Parrotfish. Butterflyfish sebagai salah satu indikator untuk mengetahui tekanan terhadap usaha koleksi akuarium menunjukkan adanya sedikit penurunan jumlah rata-rata per tahun.

Tren penurunan jumlah substrat dan ikan yang ditemui oleh pemantau Reef Check juga ditemui di indikator invertebrate. Jumlah indikator penangkapan ikan berlebih serta pemanenan berlebih menunjukkan penurunan yang signifikan. Bulu Seribu atau Acanthaster plancii yang dijadikan sebagai indikator predator karang, dicatat berada dalam populasi minimal. Satu perbedaan dari tren yang menurun tercatat pada indikator biota koleksi akuarium, yang jumlahnya cenderung naik.

Secara umum, dampak yang berakibat pada kerusakan terumbu karang (coral damage) dan trash (sampah) tidak menunjukkan adanya kecenderungan turun ataupun naik secara jelas. Mayoritas kerusakan tidak terlalu besar (ada pada level 1) dengan rata-rata jumlah kerusakan tertinggi disebabkan oleh aktivitas perahu/jangkar, sementara trash juga terdapat pada level yang sama dan mayoritas berasal dari penyebab lain.

Akhir kata, kita menyadari bahwa tekanan terhadap terumbu karang semakin meningkat seiring kegiatan pembangunan serta pemanfaatan sumberdaya di Indonesia. Kerjasama berbagai pihak untuk berbagi tugas dalam pengelolaan ekosistem ini mutlak diperlukan untuk kelestarian sumberdaya yang pada gilirannya nanti juga akan memberikan keuntungan bagi kita.

Download file laporan Satu Dekade Pemantauan Reef Check di Indonesia disini